1. Pengertian
Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan
kehilangan pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan
dari segi pendengaran sehingga memerlukan pelayanan khusus. Menurut
Dwidjosumarto (Soemantri, 1995:140) bahwa “seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu”.
Sedangkan Soemantri (1995:145) mengatakan bahwa “tunarungu adalah
sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak
dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya”.
Ketunarunguan tidak
saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan seluruh
tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang berat, sangat berat.
Selanjutnya Moores (Depdikbud, 2003:22) mendefinisikan ketunarunguan yaitu:
Seseorang
dikatakan tuli (deaf) apabila
kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga ia
tidak dapat mengartikan pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik
dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang
dengar (hard of hearing) bila
kehilangan pendengaran pada 35 dB ISO sehingga ia mengalami kersulitan untuk
memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun
tanpa alat bantu mendengar
Dari pendapat di atas
dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan seseorang diukur berdasarkan tingkat kemampuan
mendengar. Seseorang dikatakan tunarungu apabila kehilangan kemampuan mendengar
pada tingkat 70-35 dB ISO. Dengan kata lain bahwa kehilangan kemampuan
mendengar pada tingkat kurang dari 35 dB ISO tidak dikategori tunarungu atau
pendengarannya normal.
Semantara itu, Heward
& Orlansky (Depdikbud, 2003:22) memberikan batasan mengenai ketunarunguan
sebagai berikut.
Tuli (deaf) diartikan sebagai
kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua
jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara tidak dipahami walau
dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengaran secara
nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus.
Berdasarkan batasan
di atas, dapat dipaparkan bahwa seseorang disebut tuli apabila saraf penerima
rangsangan bunyi/suara mengalami kerusakan sedemikian rupa sehingga tidak mampu
mendengar bunyi/suara walaupun dibantu alat dengar bantu, sedangkan seseorang
disebut kurang dengar apabila kurang mampu memahami bunyi sehingga memerlukan
penyesuaian khusus.
Selanjuntya Hallahan
& Kauffman (Hernawati, 2007:101) mengemukakan
bahwa
Orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi
bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing
aid). Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing person)
adalah seseorang yang biasanya menggunakan alat bantu dengar, sisa
pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi
bahasa, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing
aid, ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendengarannya.
Batasan di atas dapat
diuraikan bahwa seseorang yang tuli adalah mereka yang tidak bisa lagi mendengar
suara walaupun telah dibantu dengan alat bantu dengar, sedangkan orang yang kurang dengar
adalah mereka yang masih memiliki kemampuan mendengar bunyi pada frekuensi
tertentu dan apabila dibantu dengan alat bantu dengar kemampuan mendengarnya semakin baik.
Connix (Depdiknas,
2003:22) secara rinci
mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah ”anak yang kehilangan seluruh atau
sebagian pendengarannya sehingga tidak mampu berkomunikasi secara verbal
walaupun dibantu dengan alat bantu mendengar mereka tetap membutuhkan pelayanan
khusus”. Sedangkan menurut Notoatmojo (1989: 23) mengemukakan bahwa "anak
tunarungu adalah yang sudah tuli total, mereka yang tidak mendengar sama sekali
atau mereka yang pendengarannya demikian rusak”.
Senada pula
batasan yang dikemukakan Salim (Soemantri;1995:140) bahwa:
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia
mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan
dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Dari berbagai batasan yang dikemukakan beberapa pakar
ketunarunguan maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan
atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan,
sedang, berat dan sangat berat yang dikelompokkan dalam dua golongan besar
yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB) yang
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar masih tetap memerlukan pelayanan
khusus.
2. Klasifikasi Ketunarunguan
Pada umumnya klasifikasi
anak tunarungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan
kurang dengar. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (Somad
dan Hernawati:1996:29)
0
db :
Menunjukan pendengaran yang optimal
0
– 26 db : Menunjukan seseorang masih
mempunyai pendengaran yang optimal
27
– 40 db : Mempunyai kesulitan mendengar
bunyi-bunyian yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)
41–55db : Mengerti bahasa percakapan, tidak
dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara
(tergolong tunarungu sedang)
56–70 db : Hanya bisa mendengar suara dari
jarak yang dekat, masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong
tunarungu berat)
71 –
90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang
sangat dekat kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang
intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong
tunarungu berat)
91 db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau
suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran
untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan diangap tuli (tergolong
tunarungu berat sekali).
Dari
pendapat di atas dapat deskripsikan bahwa ketunarunguan diklasifikasikan
menjadi tunarungu ringan dengan taraf pendengaran 27–40 dB, tunarungu sedang
dengan taraf pendengaran 41-55 dB, tunarungu berat dengan taraf pendengaran 56–90
dB serta tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran 56–90 dB serta
tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran lebih dari 91 dB.
Gangguan pada organ
pendengaran bisa terjadi pada telinga luar, tengah, maupun telinga bagian
dalam. Smith & Neisworth (Hernawati, 2007:110) mengklasifikasi tunarungu
berdasarkan tempat terjadinya kerusakan pendengaran yaitu:
- Tunarungu tipe konduktif yaitu hilangnya pendengaran diakibatkan adanya gangguan pada telinga luar dan tengah,sehingga menghambat jalannya suara ke telinga bagian dalam
- Tunarungu sensorineural diakibatkan gangguan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran.
- Tunarungu campuran merupakan perpaduan antara tipe konduktif dan sensorineural.
Myklebust
(Abdurrachman dan Sudjadi, 1996: 61) mengklasifikasi
tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran dengan menggunakan
pendengaran deciBel (dB) sebagai hasil pengukuran dengan alat audiometer
standar ISO (International Standart
Organization), yaitu: “sangat ringan (27-40 dB), ringan (41-55 dB), sedang
(56-70 dB), berat (71-90 dB), sangat berat (91 dB ke atas)”. Selanjutnya
Myklebust (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996:61)
mengklasifikasi tunarungu berdasarkan waktu terjadinya kehilangan pendengaran,
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu;
(a) tunarungu bawaan;
tunarungu sejak lahir sehingga indera pendengaran, dan (b) tunarungu perolehan;
anak lahir dengan pendengaran normal akan tetapi dikemudian hari indera
pendengarannya menjadi tidak berfungsi yang disebabkan karena kecelakaan atau
suatu penyakit.
Somad dan Hernawati (1996:26) mengemukakan klasifikasi anak tunarungu dalam dua kelompok yaitu:
1. Anak
yang tuli adalah anak yang mengalami kehilangan proses informasi bahasa melalui
pendengaran, baik menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar.
2. Anak
yang kurang dengar atau anak yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan
mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan penggunaan alat
bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa
melalui pendengaran.
Klasifikasi anak tunarungu
sesuai dengan taraf ketunarunguannya (Somad dan Hernawati, 1996:29) adalah :
1. 0 – 26 dB menunjukkan seseorang masih
mempunyai pendengaran yang normal.
2. 27 – 40 dB mempunyai kesulitan mendengar
bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan)
3. 41 – 55 dB mengerti bahasa percakapan,
tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi
bicara, (tunarungu sedang).
4. 56 – 57 dB hanya bisa mendengar suara dari jarak yang
dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan
menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara khusus (tunarungu agak
berat).
5. 71 – 90 dB hanya bisa mendengar bunyi
sangat dekat, kadang dianggap tuli, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan
secara khusus (tunarungu berat).
6. 91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya
bunyi atau suara dengan getaran, banyak tergantung pada penglihatan dari pada
pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap
tuli (tunarungu berat sekali).
Dari klasifikasi di atas dapat dipaparkan bahwa
ketunarunguan seseorang dapat diukur dengan menggunakan decibell (dB).
Seseorang dikategorikan tunarungu apabila taraf ketunarunguannya berkisar antar
27-91dB ke atas. Semakin besar ukuran dB-nya, maka kemampuan mendengarnya
semakin berkurang baik. Sebaliknya semakin kecil ukuran dB-nya, maka kemampuan
mendengarnya semakin baik.
Kirk & Gallagher (Hernawati, 2007:110) mengelompokkan
ketunarunguan berdasarkan waktu terjadi pada masa prabahasa dan pasca bahasa
yaitu:
- Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
- Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi setelah berkembangnya kemampuan bicara dan bahasa secara spontan.
Berdasarkan klasifikasi di atas, maka
dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan terjadi sebelum anak memiliki
kemampuan berbahasa. Ini berarti ketunarunguan terjadi sejak sebelum lahir
hingga masa kanak-kanak, sedangkan ketunarunguan terjadi sesudah anak memiliki
kemampuan berbahasa artinya bahwa ketunarunguan terjadi setelah masa
kanak-kanak hingga dewasa.
Adapun klasifikasi yang bermanfaat bagi pelayanan pemberian pendidikan
ialah klasifikasi
menurut pengukuran audimetris, hal itu sesuai dengan pendapat Sastrawinata
(1997: 13) sebagai berikut :
1. Tunarungu taraf ringan (15 -
25 dB)
Anak
tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar bersama-sama anak- anak pada
umumnya dengan menggunakan alat bantu pendengaran, penempatan yang keempat
yaitu anak harus disuruh duduk dipaling depan.
2. Tunarungu taraf sedang (26 -
50 dB)
Anak
tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan pendidikan khusus dengan latihan
bicara, membaca ujaran/membaca bibir dan latihan mendengar dengan memakai alat
bantu pendengaran.
3. Tunarungu taraf berat (51 - 75 dB)
Anak
tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti program pendidikan di sekolah
luar biasa dan dengan mengutamakan pelajaran bahasa, bicara dan membaca ujaran,
penggunaan alat
tetapi masih bisa dipakai di jalan jalan raya untuk
bunyi klakson maupun untuk bunyi yang bernada tinggi.
4. Tunarungu taraf berat sekali (75 dB ke atas)
Anak tunarungu pada taraf ini lebih mengutamakan
program pendidikan kejuruan meskipun pelajaran bahasa dan bicara masih dapat
diberikan kepadanya. Penggunaan alat bantu pendengaran biasanya tidak
memberikan manfaat baginya.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa ada dua kelompok tunarungu yaitu tuli dan kurang dengar. Tuli
adalah kehilangan kemampuan mendengar sehingga indera pendengaran dan alat
bicara tidak berfungsi sama sekali, sedangkan kurang dengar adalah indera pendengaran
kurang baik begitu pula alat bicaranya, tetapi masih berfungsi baik menggunakan
alat bantu maupun terapi bicara.
3. Karakteristik Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu
merupakan ciri khas bagi semua anak tunarungu. Kekhasan ciri fisik, psikis, dan
sosial pada anak tunarungu merupakan merupakan
akibat langsung dari kelainan yang disandangnya. Menurut Sastrawinata (1997:22) bahwa karakteristik tunarungu sebagai
berikut.
(1) egosentrisme yang melebihi anak
normal (2) mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, (3) ketergantungan
terhadap orang lain (4) perhatian mereka lebih sukar dialihkan (5) mereka
umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah, (6) mereka
lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Depdiknas (2003;23)
menguraikan karakteristik kognisi
anak tunarungu adalah sebagai berikut.
1. Kemampuan
verbal anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar
2.
Performance IQ anak tunarungu sama dengan anak
mendengar
3. Daya
ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar
terutama pada informasi yang bersifat suksesi/berurutan
4.
Namun
pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada
perbedaan
5. Daya
jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walau prestasi akhir biasanya lebih
rendah.
Sedangkan
Nur’aeni (1997:119) mengemukakan beberapa karakteristik anak tunarungu, yakni:
(1)sering tampak bingung atau melamun,
(2) sering bersifat acuh tak acuh (3) kadang bersikap agresif (4) perkembangan
sosialnya terhambat (5) keseimbangan kurang, (6) kepalanya sering miring (7)
sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya (8) jika berbicara sering
membuat suara-suara tertentu (9) jika bicara sering menggunakan tangan (10)
Jika bicara sering keras, lemah, sangat monoton, tidak tepat, dan kadang-kadang
menggunakan suara hidung.
Somad & Hernawati
(1996:35) membagi karakteristik anak tunarungu dalam segi: intelegensi, bahasa,
bicara dan sosialnya. Secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
1. Karakteristik dalam segi intelegensi
Pada dasarnya kemampuan anak tunarungu
sama dengan anak normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang intelegensinya
tinggi, rata-rata, dan rendah. Perkembangan intelegensi anak tunarungu sangat
dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka intelegensi anak tunarungu tampak
rendah dibandingkan dengan anak normal. Jika materi diverbalisasikan, maka anak
tunarungu sulit menerimanya.
2. Karakteristik bahasa dan bicara
Kemampuan bahasa dan bicara anak
tunarungu berbeda dengan anak normal, hal ini disebabkan perkembangan bahasa
dan bicara anak tunarungu sampai masa meraban mengalami hambatan. Setelah masa
meraban perkebangan bahasa dan bicara
anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada
peniru yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.
3. Karakteristik Emosi dan sosial.
Ketunarunguan dapat mengakibatkan anak
tunarungu terasing dari pergaulan sehari-hari. Keadaan ini menghambat
perkembangan kepribadian anak tunarungu menuju kedewasaan. Akibat dari
keterasingan tersebut menimbulkan efek negatif seperti; egosentris, takut akan
lingkungan yang lebih luas, ketergantungan pada orang lain, perhatian sukar
dialaihkan, cepat tersinggung.
Dari beberapa
karakteristik anak tunarungu yang diuaraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa keterlambatan/hambatan dalam hal intelegensi, perkembangan bahasa,
komunikasi verbal, sosial, emosi. bicara, sering menggunakan isyarat dalam
berkomunikasi, kurang/tidak tanggap bila diajak bicara, ucapan kata tidak jelas,
kualitas suara aneh/monoton, sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
Namun memiliki persamaan dalam performance
IQ dan daya ingat jangka panjang.
d. Penyebab Ketunarunguan
Brown seperti dikutip oleh Heward
& Orlansky (Abdurrachman dan Sudjadi,1996: 71)
mengatakan bahwa penyebab ketunarunguan adalah:
- Materna Rubella (campak) pada waktu ibu mengandung mudah terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak;
- Faktor keturunan yang tampak dari adanya beberapa anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran.
- Ada komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran prematur, berat badan kurang, bayi lahir biru dan sebagainya.
- Meningitis (radang otak) sehingga ada semacam bakteri yang dapat merusak sensitivitas alat dengar dibagian dalam telinga.
- Kecelakaan/trauma atau penyakit.
Berdasarkan paparan di atas dapat
dideskripsikan bahwa ketunarunguan disebabkan oleh faktor keturunan, faktor
penyakit dan faktor kecelakaan. Ini berarti keluarga yang mempunyai riwayat
ketunarunguan, kemungkinan mempunyai anak yang mengalami kelainan ketunarunguan. Sedangkan ketunarunguan yang disebabkan penyakit maupun kecelakaan kemungkin
tidak diturunkan kepada anak. Menurut Boothroyd (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996: 72) membedakan atas
beberapa penyebab ketunarunguan, yaitu:
- Karena keturunan, ada factor-faktor yang dibawah oleh orang tua.
- Karena penyakit, yaitu ibu pada waktu mengandung mudah menderita suatu penyakit seperti rubella
- Karena obat-obatan, kadang-kadang ibu yang sakit banyak meminum obat sehingga dapat berpenagaruh pada perkembangan alat dengar anak yang masih dalam kandungan, dan juga pada anak yang terlalu banyak minum obat atau salah ukurannya dapat mengganggu alat denagranya.
- Karena kondisi traumatis seperti kurang gizi, radiasi, kekurangan oksigen, pada saat kelahiran premature, atau karena mendengar ledakan yang terlalu kuat dan kebisingan.
Abdurrachman
dan Sudjadi (1996: 71) bahwa menurut waktu terjadinya ketunarunguan adalah
:
1. Ketunarunguan
terjadi sebelum lahir (prenatal)
Kondisi ibu yang terkena infeksi atau keracunan pada saat mengandung,
sakit influenza, atau campak dapat menyebabkan kerusakan pendengaran anak
terutama pada tiga bulan pertama usia kandungan serta karena ketidakcocokan
darah anak dan darah ibu
2.
Ketunarunguan yang terjadi ketika lahir (natal)
Pada saat lahir terjadi kecacatan pada bagian luar telinga, gendang suara
pada bagian tengah dan perekambangan mekanisme saraf yang terhambat, penngunaan
alat yang menyebabkan pendarahan di otak, sehingga merusak sistim saraf ,
anoxia.
3.
Ketunarunguan yang terjadi sesudah lahir (post natal)
Karena penyakit atau kecelakaan, apabila terjadinya pada
tahuan-tahuan awal kelahiran.
Meningitis, infeksi, penyakit gondok, dipteri, dan sebagainya.
Trybus (Somad dan Hernawati, 1996: 32 - 34) mengemukakan enam
penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika yaitu :
1) Keturunan.
2)
Campak Jerman
3)
Komplikasi selama kehamilan dan kelaluran
4)
Radang selaput otak (meningitis)
5)
Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6)
Penyakit anak-anak, radang dan luka
Somad dan Hemawati (1996: 33) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut ;
1) Faktor
dalam diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari dalam diri
anak adalah
a.
Keturunan
b. Ibu
hamil menderita campak jerman (rubella)
c. Ibu
hamil menderita keracunan darah (toxophpesmosis)
2) Faktor
luar diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari luar diri anak
adalah:
a.
Infeksi saat kelahiran
b.
Meningitis atau radang selaput otak
c.
Otitis media (radang telinga bagian tengah) menimbulkan nanah dan nanah tersebut
menggumpal dan mengganggu hantaran bunyi
d. Penyakit
lain atau kecelakaan yang dapat
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguaan
disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak maupun disebabkan oleh faktor dari
luar atau lingkungan anak yang waktu terjadinya pada saat sebelum lahir, saat
lahir dan setelah lahir. Berbagai faktor penyebab ketunarungun disebabkan
karena penyakit atau karena kecelakaan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmas anggit, boleh saya minta daftar pustakanya? mau saya pakai untuk melengkapi data. terimakasih
BalasHapusmas anggit, boleh saya minta daftar pustakanya? mau saya pakai untuk melengkapi data juga. terimakasih
BalasHapus