Sabtu, 02 Juni 2012

Konsep Tunanetra


A. Pendahuluan
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sekelilingnya, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan fisik. Untuk dapat berintereaksi dengan lingkungan sekitar harus memerlukan indera-indera yang baik seperti indera-indera penglihatan, indera pendengaran, indera perabaan, dan indera pembauan. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas namun dalam bekerjanya memerlukan kerja sama sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungan sekelilingnya.
Murid tunanetra merupakan kelompok anak yang mengalami kelainan yang sedemikian rupa pada indera penglihatannya. Sebagai akibat dari ketunanetraannya, maka pengertian terhadap dunia luar tidak diperoleh secara utuh. Dengan demikian murid tunanetra mengalami hambatan dalam mengenali lingkungan sekitar. Keterbatasan-keterbatasan murid tunanetra sebagai akibat langsung dari ketunanetraaannya. Hilangnya fungsi indera penglihatan bukan berarti murid tunanetra tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sebab  masih ada indera-indera lain yang bisa dioptimalkan untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya.
Hilangnya fungsi indera penglihatan pada murid tunanetra menjadi perhatian bagi tenaga kependidikan, calon tenaga kependidikan dan orang tua. Dalam meningkatkan kemampuan orientasi dan mobilitas, kemampuan berbahasa lisan murid tunanetra dapat ditangkap melalui indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi.
Dalam meningkatkan kemandirian berjalan pada murid tunanetra, informasi berupa suara dimanfaatkan untuk melakukan orientasi dan mobilitas. Orientasi dan mobilitas pada murid tunanetra merupakan hal yang penting dan amat dibutuhkan pada murid tunanetra, karena itu pada sekolah luar biasa bagian tunanetra (SLB-A) orientasi dan mobilitas merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari.
Kemampuan orientasi dan mobilitas pada murid tunanetra tidak diperoleh secara otomatis sebagaimana anggapan orang awam, tetapi melalui latihan secara rutin dan terpadu sampai anak mampu melakukan kegiatan sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemampuan berorientasi dan mobilitas tersebut dapat menggunakan indera-indera yang masih berfungsi seperti indera pendengaran. Oleh karena itu, orientasi dan mobilitas pada murid tunanetra memegang peranan sangat penting dalam kemandiran mereka. Namun berorientasi dan mobilitas tergantung pada kesadaran dan kemampuan memanfaat rangsangan yang diterima murid tunanetra dari lingkungan sekitarnya.
Kemampuan orientasi dan mobilitas murid tunanetra tidak terlepas dari ketajaman indera-indera yang masih berfungsi, seperti indera pendengaran, indera pembauan, indera perabaan, indera pengecap, dan indera vestibularis. Kemampuan orientasi dan mobilitas murid tunanetra tidak diperoleh secara otomatis, namun melalui latihan secara rutin dan terpadu.
Kemandirian berjalan pada anak tunanetra tidak terlepas dari pemanfaatan indera-indera yang masih berfungsi dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Rangsangan-rangsangan yang diperoleh dari lingkungan sekitar dapat dijadikan petunjuk bagi tunanetra untuk bergerak atau berpindah tempat yang sesuai dengan kehendaknya. Bunyi/suara dalam berorientasi dan mobilitas juga memberikan petunjuk tentang jenis atau nama suatu lokasi/tempat tertentu yang sering mempunyai ciri khas. 
Kemandirian berjalan murid tunanetra dapat dilakukan dengan menggunakan teknik tongkat dan teknik trailling. Teknik tongkat memilki keuntungan yaitu praktis dalam penggunaannya, mudah dibawa kemana-mana serta memperolehnya tidak memerlukan biaya besar. Sementara teknik trailling ( teknik merambat menggunakan punggung tangan) pada dinding tembok atau pagar mudah dan praktis dilakukan. 
B. Pengertian Anak Tunanetra
Istilah tunanetra bila dilihat dari segi bahasa terdiri dari kata “tuna” dan netra”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995:97) kata tuna berarti rusak, luka, kurang, tidak memiliki. Sedangkan kata netra berarti mata, jadi tunanetra berarti rusak matanya atau kurang dalam penglihatan.
Menurut Hardman, (Widdjajantin dan Hitipeuw,1995 :613) bahwa:
Seorang dikatakan buta apabila ketajaman penglihatannya sentralnya tidak          lebih dari 20/20 feet dalam penglihatan terbaiknya, setelah dikoreksi dengan kaca rmata atau seseorang yang ketajaman penglihatannya lebih 20/200 feet tetapi memiliki keterbatasan dalam lapang pandang sentralnya sehingga membentuk sudut yang tidak lebih dari 20 derajat.
Batasan secara praktis dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Ketunanetraan di Solo (Widdjajantin, 1995:3) “bahwa seseorang dikatakan tunanetra apabila setelah dikoreksi secara maksimal ia tidak dapat menggunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang umumnya digunakan oleh anak-anak awas”.
Dari ketiga pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan fungsi penglihatan yang walaupun dikoreksi tetap tidak dapat difungsikan seperti orang awas, khusunya dalam pendidikan sehingga mereka membutuhkan perhatian atau layanan secara khusus.
World Healt Organization/WHO menggunakan istilah tunanetra ke dalam dua kategori yaitu blind dan low vision.WHO (Widdjajantin,1995:21) mengatakan bahwa:
Istilah tunanetra lebih tepat menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami kekurangan penglihatan sedangkan pengertian buta digunakan untuk menunjukkan keadaan seseorang yang rusak penglihatannya sehingga mengakibatkan tidak dapat melihat. Jadi tunanetra berarti kerusakan mata atau kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan.

Abdurrahman dan Sudjudi, (1996 :21) mengatakan bahwa:
Penglihatan seseorang dikatakan betul-betul terganggu apabila ia mempunyai ketajaman penglihatan 20/200, yaitu ketajaman penglihatan yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki yang umumnya dapat dilihat oleh orang yang tidak memiliki ketajaman penglihatan normal pada jarak 200 kaki. Orang yang tidak memiliki ketajaman penglihatan sama sekali atau yang visus matanya 0 disebut buta.

Definisi kebutaan bergantung pada maksud definisi itu sendiri dibuat. Sebagaimana Kirk (Abdurrahman, 1996 :21) mengatakan bahwa “untuk maksud pendidikan, seseorang yang buta ialah seseorang yang penglihatannya tidak sempurna, cacat atau rusak sehingga ia tidak dapat dididik dengan metode-metode yang menggunakan penglihatan”. Sementara itu, White Confrence (Widdjajantin, 1995:4) mengatakan bahwa:
1.  Seseorang dikatakan buta total (blind) maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak memungkinkan baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kaca mata
2. Sesesorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai  ketajaman penglihatan 20/200 feet atau kurang pada bagian mata terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan lapang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.
 Sedangkan Sunaryo ( Yusuf, 1996: 52) mengatakan bahwa tunanetra;
Individu yang indera penglihatannya (kedua-keduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut: (1) ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas, (2) terjadi kerusakan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, (3) posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak, (4) terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
             
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra adalah anak yang buta total dan kurang penglihatan. Dengan kata lain anak tunanetra adalah seseorang yang sulit mengikuti pendidikan anak awas sehingga ia tidak dapat dididik dengan metode-metode yang menggunakan penglihatan dan membutuhkan pelayanan secara khusus.

 C. Klasifikasi Anak Tunanetra
Pengelompokkan tunanetra tergantung sudut pandang ilmu. Klasifikasi ilmu kesehatan bebeda dengan kependidikan. Sebagaimana WHO (Widdjajantin, 1995 :21) mengelompokkan tunanetra dalam dua kelompok besar yaitu:
a.   Blind atau buta, menggambarkan suatu kondisi yang fungsi penglihatannya tidak dapat digunakan lagi meskipun dengan alat bantu sehingga tergantung pada fungsi indra-indra yang lain.
b. Low vision (penglihatan kurang), menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya tahan rendah, mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas yang utama yang menuntut fungsi penglihatan.

Widdjajantin, (1995: 13) mengklasifikasikan anak tunanetra dari segi tingkat ketajaman penglihatannya sebagai berikut:
1.   6/6 meter atau 20/20 feet – 20/50 feet, tingkat ini disebut tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal. Mereka masih mampu menggunakan peralatan pendidikan pada umumnya, sehingga masih dapat memperoleh pendidikan di sekolah umum.
2.    6/20 meter – 6/60 meter atau 20/70 feet, tingkat ini disebut tunanetra kurang lihat atau low vision. Pada taraf ini disebut tunanetra kurang lihat atau low vision. Pada taraf ini mereka masih mampu melihat dengan menggunakan kacamata.
3.   6/60 meter atau 20/200 feet, - 20/50 feet, tingkat ini disebut tunanetra berat, taraf ini masih mempunyai tingkatan; (a) masih dapat melihat gerakan tangan cahaya; (b) hanya dapat membedakan terang dan gelap.
4.   Mereka memiliki visus o, mereka sering disebut buta, pada tingkat ini tidak mampu melihat rangsangan cahaya yang terlihat hanya gelap.  
       
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunanetra mencakup gangguan penglihatan tingkat ringan 6/6 meter atau 20/20 feet – 20/50 feet, kurang lihat 6/20 meter – 6/60 meter atau 20/70 feet, tunanetra berat  6/60 meter atau 20/200 fee, 20/50 feet dan mereka memiliki visus 0, mereka sering disebut buta, pada tingkat ini tidak mampu melihat rangsangan cahaya yang terlihat hanya gelap. 
 
D. Faktor Penyebab Tunanetra
Kecacatan dapat ditinjau dari sudut waktu terjadinya (ketika anak/bayi) sebelum dilahirkan atau masa prenatal, saat anak dilahirkan atau masa natal. Ketika anak telah lahir atau masa post natal. Kecacatan juga dapat ditinjau dari sudut intern (penyebab yang datang dari dalam diri dan penyebab yang datang dari luar diri (ekstern).
Menurut Widdjajantin (1995: 16) bahwa penyebab ketunanetraan ditinjau dari sudut interen dan ekstern. Secara terinci tentang penyebab kebutaan pada anak dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor Intern
          Kebutaan dari faktor intern dapat disebabkan oleh perkawinan antar keluarga dan perkawinan antar tunanetra.
b. Faktor ekstern
        Kebutaan dari faktor eksteren dapat disebabkan oleh penyakit sifilis/raja singa/rubella, malnutrisi berat, kekurangan vitamin A, diabetes militus, tekanan darah tinggi, stroke, radang kantung air mata, radang kelenjar kelopak mata, hemagioma, retinoblastoma, cellutis orbita, glaucoma, fibroplasi, retrilensa, efek obat/zat kimiawi.

d. Karakteristik Anak Tunanetra
Karakteristik anak tunanetra merupakan ciri khas bagi semua anak tunanetra dalam melakukan aktivitas yang merupakan akibat langsung dari kelainan yang disandangnya. Widdjajantin (1995: 29) mengelompokkan karakteristik anak tunanetra sebagai berikut: karakteristik perkembangan bahasa, kemampuan intelektual, perkembangan fisik, serta sosial dan emosional.
a.  Perkembangan bahasa; dikarenakan kurangnya stimuli visual, maka perkembangan bahasa anak tunanetra diperoleh melalui kata-kata verbalistik dari orang lain. Komunikasi verbal pada anak tunanetra juga merupakan hal yang kurang dipahaminya karena kemampuan itu sangat bergantung pada stimuli visual dari lingkungan. Kosa kata anak tunanetra cenderung bersifat definitif sedangkan anak awas cenderung lebih luas.
b. Kemampuan inteletual; anak tunanetra mengolah dan menganalisa informasi dari lingkungan sama dengan anak awas, yang berbeda adalah hambatannya dalam menerima informasi. Kebutaan tidak secara otomatis hasil dari inteligensi rendah, IQ mereka tidaklah lebih kurang sama dengan inteligensinya dari anak awas. Kemampuan konseptual mereka berbeda dengan anak awas, mereka mengalami kesulitan dalam menangkap konsep keruangan, dan indera taktual lebih penting bagi perkembangan anak tunanetra mengenal konsep ruang.
c.   Prestasi akademik; anak tunanetra sering mengalami sebagian underachiever. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya; anak tunanetra selalu memasuki sekolah dalam usia lebih lambat dari pada anak awas, anak tunanetra sering dididik dengan program yang tidak sesuai, beberapa anak tunanetra mempunyai kesempatan masuk sekolah dan mereka harus menggunakan braille atau buku yang berhuruf besar yang memperlambat kemampuannya untuk mengumpulkan informasi serta merupakan akibat tidak langsung dari kelainan penglihatannya.
d.  Sosial dan emosional; anak tunanetra kurang mampu menyesuaikan diri dengan baik ketimbang anak awas. Kehadiran mereka yang buta total lebih diterima daripada mereka yang kurang lihat. Problem sosial dan emosi mereka cenderung disebabkan oleh sikap orang awas serta kurangnya kontak antara mereka dan anak awas. 

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa murid tunanetra memiliki karakteristik yang berbeda dari anak normal dalam hal; perkembangan bahasa, kemampuan inteletual, prestasi akademik, sosial dan emosional. Bahwa anak tunanetra mengalami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa atau miskin dalam perbendaharaan bahasa, sehingga kemampuan intelektualnya mengalami hambatan, maka sebagai konsekuensinnya prestasi akademik, penyesuasian sosial dan perkembangan emosional berbeda dari anak normal.
Selanjutnya Widdjajantin dan Hitipeuw (1995:11) mengemukakan karakteristik tunanetra total/buta yaitu;
1)   Rasa curiga pada orang lain. Keterbatasan rangsangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra kurang mampu berorientasi dan mobilitas dengan lingkungannya. Anak tunanetra sering bertabrakan dengan orang lain, kakinya terperosok dalam lubang dan pengalaman-pengalaman yang menimbulkan rasa sakit, kecewa dan rasa tidak senang, perasaan-perasaan ini yang mendorong anak tunanetra untuk selalu berhati-hati dan menunjukkan sikap selalu terhadap orang lain.
2)    Perasaan mudah tersinggung. Perasaan mudah tersinggung timbul karena kecewa, curiga pada orang lain. Akibatnya anak buta menjadi emosional, sehingga segala senda gurau, tekanan suara atau singgungan fisik tidak disengaja dari orang  lain dapat menyinggung perasaannya.
3) Ketergantungan yang berlebihan pada orang lain. Tunanetra total cenderung mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi karena dua sebab. Sebab pertama yaitu datang dari dirinya. Tunanetra total tidak mau berusaha sepenuh hati untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sebab kedua datang dari luar. Rasa kasih sayang dan perlindungan yang berlebihan dari orang lain. Akibatnya anak tunanetra selalu bergantung pada orang lain. Blindism, merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari,  misalnya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, menggoyangkan badan dan sebagainya. Semua gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain pusing bila melihat gerakan-gerakan tersebut.
4) Perhatian terpusat. Kebutaan menyebabkan dalam melakukan suatu kegiatan akan terpusat. Perhatian terpusat ini sangat mendukung kepekaan indera masih ada.

Memperhatikan pendapat di atas, bahwa anak buta total mengalami karakteristik yang khas seperti rasa curiga secara berlebihan pada orang lain, perasaan mudah tersinggung, ketergantungan yang berlebihan, blindism, perhatian terpusat, rasa rendah diri. Di samping itu, anak tunanetra juga mengalami karakteristik lain seperti ; suka melamun, fantasi yang kuat untuk mengingat suatu obyek, kritis, pemberani.
Widdjajantin dan Hitipeuw (1995: 17) mengemukakan karakteristik tunanetra kurang lihat (low vision) yaitu;
1.   Selalu mencoba mengadakan fixition atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda
2.    Menaggapai rangsangan cahaya yang datang padanya terutamna pada benda yang kena sinar disebut visually function
3.      Bergerak dengan penuh percaya diri baik di rumah maupun di sekolah
4.      Merespon warna, selalu memberi komentar pada warna benda yang dilihatnya
5.      Mereka dapat menghindari rintangan yang berbentuk besar dengan sisa penglihatan
6.      Memiringkan kepala bila memulai suatu pekerjaan
7.      Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa penglihatan
8.      Tertarik pada benda yang bergerak
9.      Mencari benda jatuh selalu menggunakan penglihatan
10.  Menjadi penuntun bagi temannya yang buta
11.  Jika berjalan sering membentur atau mengijak-injak benda
12.  Berjalan dengan menyeretkan atau menggeserkan kaki atau salah langkah
13.  Kesulitan dalam menunjuk atau mencari benda kecuali warnanya kontrak
14.  Kesulitan melakukan gerakan yang halus atau lembut
15.  Selalu melihat benda dengan global atau menyeluruh
16.  Kordinasi atau kerjasama antara mata dan anggota badan yang lemah

Dari penyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra kurang lihat selalu mengandalkan sisa penglihatan untuk mengadakan kontak dengan lingkungan di sekitarnya, padahal sisa penglihatannya tidak bekerja secara maksimal sehingga sesuatu yang mereka kerjakan/lakukan kurang optimal.          

2. Konsep Orientasi dan Mobilitas
a. Pengertian Orientasi dan Mobilitas
Hosni (1995:14) mengatakan bahwa ”orientasi merupakan proses penggunaan indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi dirinya sehubungan dengan obyek lain dalam lingkungannya”. Lowenfeld memberikan batasan bahwa ”orientasi adalah suatu proses penggunaan semua indera yang ada untuk menentukan posisi seseorang terhadap benda-benda penting yang ada di sekitarnya” (Widdjajantin dan Hitipeuw, 1995: 270).
Dari batasan di atas dapat disimpulkan bahwa orientasi adalah penggunaan indera pendengaran, indera penciuman, indera perasa, indera penciuman untuk menangkap informasi dari lingkungan yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi dirinya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang ada disekitarnya.
Mobilitas bisa disebut juga gerakan. Poerwadarminta (1985:217) “gerak berarti peralihan tempat atau kedudukan baik hanya sekali maupun berkali-kali, sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak”. Lydon (Widdjajantin dan Hitipiuw,1995:270) mengatakan “mobilitas adalah kemampuan bergerak dari suatu tempat ke tempat lain yang diinginkan dengan tepat, cepat dan aman”. Hosni (1995:14) mengemukakan ”mobilitas adalah bagaimana ia dapat melakukan gerakan dan perpindahan tempat dari posisi semula ke posisi obyek yang dikehendaki dengan tepat, aman dan selamat”.
Mobilitas merupakan psysical locomotion yakni gerakan organisme dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan mekanisme organismenya. Carrolt (Hosni, 1996 :13) mengatakan ”for mobility  than walking. Mobilitas bukan hanya sekedar berjalan tetapi lebih dari sekedar berjalan” mobilitas tidak mesti berpindah tempat (locomotor movement) tetapi biasa hanya gerakan berpindah posisi (non-locomotor movement).
Orientasi dan mobilitas merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Orientasi tidak akan berhasil tanpa adanya mobilitas, sebaliknya mobilitas tanpa didasari orientasi tidak akan berhasil. Orientasi berhubungan dengan mental sedang mobilitas berhubungan dengan fisik. Sebagaimana Lowenfeld (Natawidjaya,1996:112) mengemukakan:
     Orientasi dan mobilitas memiliki dua komponen yaitu lokomosi dan orientasi mental. Lokomosi adalah gerak individu dari suatu tempat ke tempat lain dengan memanfaatkan mekanisme organisme, sedangkan orientasi mental adalah kemampuan individu dalam mengenal keadaan lingkungan sekitar hubungan dengan keadaan dirinya sendiri. Kedua komponen ini selalu berkoordinasi dalam proses berpindah tempat.

Dari beberapa batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan orientasi dan mobilitas adalah kesanggupan menggunakan indera yang masih berfungsi untuk mudahnya bergerak dari suatu posisi ke posisi lain yang dikehendaki dengan tepat, cepat dan selamat.

b. Fungsi Orientasi dan Mobilitas
Layanan orientasi dan mobilitas kepada murid tunanetra tidak terlepas dari usaha untuk mengatasi keterbatasan dalam melakukan bergerak dan perpindahan tempat. Hosni (1996 :59) mengatakan tujuan akhir layanan orientasi dan mobilitas adalah agar anak tunanetra mampu:
1)  Bergerak dan berpergian dengan selamat. Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra dapat mengatasi rintangan atau bahaya dalam bergerak dan berpergian.
2)  Bergerak dan berpergian secara mandiri. Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra tidak tergantung pada orang lain dalam melakukan gerakan dan berpindah tempat.
3)    Bergerak dan berpergian secara efektif. Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra mampu menggunakan waktu terpendek serta sedikit dalam bergerak dan berpindahan tempat.
4)   Begerak dan bepergian secara baik. Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra dapat bergerak dan berpergian memiliki unsur keindahan, dalam arti postur tubuhnya kelihatan luwes, tidak kaku, badan tegap, tidak bungkuk, dan langkahnya tidak seret.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi orientasi dan mobilitas adalah agar tunanetra baik total maupun low vision  mampu mengenal, menguasi medan dan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun lingkungan yang berlum dikenal dengan aman, efisien, baik dan lentur tanpa banyak meminta bantuan orang lain,  Dengan kata lain fungsi orientasi dan mobilitas adalah supaya anak tunanatra mampu bergerak, berpindah dan berjalan sendiri secara mandiri.     
                       
c.  Keterampilan Orientasi dan Mobilitas
Hilangnya fungsi indera penglihatan menyebabkan anak tunanetra mengalami keterbatasan mengenal lingkungan sekitarnya. Sebagaimana Lowenfeld (Hosni, 1996 : 20) mengatakan bahwa:
     Ketunanetraan pada seseorang dapat mengakibat tiga bentuk keterbatasan yaitu (1) keterbatasan lingkungan dan keanekaragaman pengalaman, (2) keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, (3) keterbatasan dalam kemampuan berpindah tempat (mobilitas)”  

Keterbatasan-keterbatasan pada tunanetra dapat diminimalir dengan melakukan sejumlah keterampilan orientasi dan mobilitas kepada anak tunanetra. Keterampilan orientasi dan mobilitas yang diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa bagian A (SLB-A) sangat bervariasi. Menurut Hosni (1996:140) bahwa ”keterampilan orientasi dan mobilitas bagi tunanetra meliputi  enam komponen yaitu: 1) Landmark (ciri medan), 2) Clues (tanda-tanda), 3) Numbering (sistem penomoran, 4) measurement (pengukuran), 5) compass direction (arah mata angin). 6) self familiarization (memfamilerkan diri).
1.   Keterampilan Orientasi 
Hosni (1996: 181) mengatakan bahwa ”keterampilan orientasi dan mobilitas bagi seorang tunanetra tidak lepas dari masalah pengembangan 13 konsep dasar”. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.  Konsep ukuran
Konsep ukuran meliputi : besar, kecil, lebih besar, lebih kecil, panjang, pendek, lebih panjang, lebih pendek, jauh, dekat, sentimeter, meter, kilometer, inchi, dll  
b.   Konsep bentuk 
Konsep bentuk meliputi : bentuk segi empat, bentuk segi tiga, bentuk bulat, bentuk oval, bentuk tidak beraturan, dll.
c.    Konsep permukaan (texture) : kasar-halus, lembut-keras, kering-basah, hangat-dingin, dll 
d.  Konsep warna meliputi : konsep tentang nama-nama warna, corak dari warna, mewarnai, warna menyala, warna tidak mengkilap, warna mengkilap, warna terang, warna gelap, warna primer, warna sekunder, dll
e.    Konsep berat (weight) meliputi: ringan, berat, sedang, kilogram, ons, kwintal, ton, liter, dll
f.  Konsep lokasi meliputi: tempat tidur, halaman, kamar mandi, jalan, dapur, pasar, terminal, puskesmas, trotoar,dll
g.   Konsep kegunaan meliputi : kegunaan dari suatu benda atau barang
h.   Konsep posisi meliputi: posisi atas, bawah, kiri-kanan, depan-belakng, tengah-pinggir,tenggelam-mengapung,terlentang–tengkurap, horisontal-vertikal, diagonal-sejajar, utara-selatan-timur-barat,
i.  Konsep gerakan meliputi: diam-bergerak, cepat-lambat, lebih cepat-lebih lambat, dapat bergerak, sedang bergerak, berlari, berjalan, dll
j.     Konsep waktu meliputi : pagi, siang, malam, sore, subuh, dll
k.   Konsep suara meliputi: keras, lembut, serak-melengking, tinggi-rendah, gemuruh berisik, dll
l.     Konsep rasa meliputi: manis-pahit, asin-tawar, pedas-gurih, kejut-sepet.
m.  Konsep bau meliputi: harum-busuk, bau parfum, bau bensin, bau solar, bau bumbu, dll
Pengajaran keterampilan orientasi kepada tunanetra lebih pada penanaman, pemahaman dan penguasaan konsep-konsep yang berkaitan dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam menguasai konsep-konsep tersebut, anak tunanetra senantiasa mengoptimalkan fungsi indera-indera yang masih berfungsi.       

2. Keterampilan Mobilitas
Hilangnya indera penglihatan tidak berarti hilang sama sekali mobilitas anak tunanetra. Kemampuan melakukan mobilitas pada tunanetra dapat memanfaatkan indera-indera yang masih berfungsi. Oleh karena itu, sangat penting peningkatan pengembangan motorik anak tunantera. Sebagaimana Hosni (1996: 191) mengatakan bahwa ”pengembangan keterampilan motorik merupakan bagian yang intergral dari pengembangan orientasi dan mobilitas”.
Dalam melatih keterampilan motorik harus meliputi tugas motorik (task motor) dan keterampilan motorik (motorik skill). Tugas motorik adalah gerakan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan suatu aktifitas, sedangkan keterampilan motorik berhubungan dengan terampilnya melakukan sesuatu aktifitas gerak dalam menyelesaikan suatu kegiatan. Jadi keterampilan motorik berhubungan dengan kecepatan, ketepatan, bentuk, dan penyesuaian dari gerak itu sendiri.
Hosni (1996: 193) mengatakan ”keterampilan motorik meliputi gerakan dasar kepala, gerakan dasar tangan dan kaki, gerak dasar berguling, gerakan dasar duduk mandiri, gerakan dasar merangkak mandiri, gerakan berdiri sendiri, gerak berjalan sendiri, gerakan jongkok mandiri, gerakan koordinasi, gerakan mengeksplorasi lingkungan.
Pengajaran keterampilan mobilitas kepada tunanetra lebih pada penerapan atau  aplikasi dari sejumlah keterampilan orientasi yang telah dipelajari. Keterampilan mobilitas seperti bergerak, berpindah tempat, berjalan mandiri dan aktivitas kemandirian lainnya. Dalam melakukan aktivitas bergerak, berpindah tempat, berjalan mandiri, anak tunanetra senantiasa memanfaatkan indera yang masih berfungsi atau koordinasi antara indera yang masih berfungsi untuk merespon rangsangan dari lingkungan sekelilingnya.

1 komentar: