A. Pendahuluan
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sekelilingnya, baik lingkungan sosial budaya maupun
lingkungan fisik. Untuk dapat
berintereaksi dengan lingkungan sekitar harus memerlukan indera-indera yang
baik seperti indera-indera penglihatan, indera pendengaran, indera perabaan,
dan indera pembauan. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik
yang khas namun dalam bekerjanya memerlukan kerja sama sehingga memperoleh
pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungan sekelilingnya.
Murid tunanetra merupakan
kelompok anak yang mengalami kelainan yang sedemikian rupa pada indera
penglihatannya. Sebagai akibat dari ketunanetraannya, maka pengertian terhadap
dunia luar tidak diperoleh secara utuh. Dengan demikian murid tunanetra
mengalami hambatan dalam mengenali lingkungan sekitar. Keterbatasan-keterbatasan
murid tunanetra sebagai akibat langsung dari ketunanetraaannya. Hilangnya
fungsi indera penglihatan bukan berarti murid tunanetra tidak mampu berinteraksi
dengan lingkungan di sekitarnya. Sebab masih ada indera-indera lain yang bisa
dioptimalkan untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya.
Hilangnya fungsi indera
penglihatan pada murid tunanetra menjadi perhatian bagi tenaga kependidikan, calon
tenaga kependidikan dan orang tua. Dalam meningkatkan kemampuan orientasi dan
mobilitas, kemampuan berbahasa lisan murid tunanetra dapat ditangkap melalui
indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi.
Dalam meningkatkan kemandirian
berjalan pada murid tunanetra, informasi berupa suara dimanfaatkan untuk
melakukan orientasi dan mobilitas. Orientasi dan mobilitas pada murid tunanetra
merupakan hal yang penting dan amat dibutuhkan pada murid tunanetra, karena itu
pada sekolah luar biasa bagian tunanetra (SLB-A) orientasi dan mobilitas
merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari.
Kemampuan orientasi dan
mobilitas pada murid tunanetra tidak diperoleh secara otomatis sebagaimana
anggapan orang awam, tetapi melalui latihan secara rutin dan terpadu sampai
anak mampu melakukan kegiatan sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemampuan berorientasi
dan mobilitas tersebut dapat menggunakan indera-indera yang masih berfungsi
seperti indera pendengaran. Oleh karena itu, orientasi dan mobilitas pada murid
tunanetra memegang peranan sangat penting dalam kemandiran mereka. Namun
berorientasi dan mobilitas tergantung pada kesadaran dan kemampuan memanfaat
rangsangan yang diterima murid tunanetra dari lingkungan sekitarnya.
Kemampuan orientasi dan
mobilitas murid tunanetra tidak terlepas dari ketajaman indera-indera yang
masih berfungsi, seperti indera pendengaran, indera pembauan, indera perabaan,
indera pengecap, dan indera vestibularis. Kemampuan orientasi dan mobilitas murid
tunanetra tidak diperoleh secara otomatis, namun melalui latihan secara rutin
dan terpadu.
Kemandirian berjalan pada anak
tunanetra tidak terlepas dari pemanfaatan indera-indera yang masih berfungsi dalam
melakukan orientasi dan mobilitas. Rangsangan-rangsangan yang diperoleh dari
lingkungan sekitar dapat dijadikan petunjuk bagi tunanetra untuk bergerak atau
berpindah tempat yang sesuai dengan kehendaknya. Bunyi/suara dalam berorientasi
dan mobilitas juga memberikan petunjuk tentang jenis atau nama suatu
lokasi/tempat tertentu yang sering mempunyai ciri khas.
Kemandirian berjalan murid tunanetra dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik tongkat dan teknik trailling. Teknik tongkat memilki keuntungan yaitu praktis
dalam penggunaannya, mudah dibawa kemana-mana serta memperolehnya tidak
memerlukan biaya besar. Sementara teknik
trailling ( teknik merambat menggunakan punggung tangan) pada dinding
tembok atau pagar mudah dan praktis dilakukan.
B. Pengertian Anak Tunanetra
Istilah tunanetra bila dilihat
dari segi bahasa terdiri dari kata “tuna” dan netra”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud,
1995:97) kata tuna berarti rusak, luka, kurang, tidak memiliki. Sedangkan kata
netra berarti mata, jadi tunanetra berarti rusak matanya atau kurang dalam
penglihatan.
Menurut Hardman, (Widdjajantin
dan Hitipeuw,1995 :613) bahwa:
Seorang dikatakan buta apabila ketajaman
penglihatannya sentralnya tidak lebih
dari 20/20 feet dalam penglihatan
terbaiknya, setelah dikoreksi dengan kaca rmata atau seseorang yang ketajaman
penglihatannya lebih 20/200 feet tetapi
memiliki keterbatasan dalam lapang pandang sentralnya sehingga membentuk sudut
yang tidak lebih dari 20 derajat.
Batasan secara praktis
dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Ketunanetraan di Solo (Widdjajantin, 1995:3)
“bahwa seseorang dikatakan tunanetra apabila setelah dikoreksi secara maksimal
ia tidak dapat menggunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang umumnya
digunakan oleh anak-anak awas”.
Dari ketiga pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah suatu keadaan seseorang yang
mengalami gangguan fungsi penglihatan yang walaupun dikoreksi tetap tidak dapat
difungsikan seperti orang awas, khusunya dalam pendidikan sehingga mereka
membutuhkan perhatian atau layanan secara khusus.
World Healt Organization/WHO menggunakan istilah tunanetra ke dalam dua kategori yaitu blind dan low vision.WHO (Widdjajantin,1995:21) mengatakan bahwa:
Istilah tunanetra lebih tepat
menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami kekurangan
penglihatan sedangkan pengertian buta digunakan untuk menunjukkan keadaan
seseorang yang rusak penglihatannya sehingga mengakibatkan tidak dapat melihat.
Jadi tunanetra berarti kerusakan mata atau kerusakan penglihatan dan mencakup
berbagai tingkat ketajaman penglihatan.
Abdurrahman
dan Sudjudi, (1996 :21) mengatakan bahwa:
Penglihatan seseorang dikatakan betul-betul
terganggu apabila ia mempunyai ketajaman penglihatan 20/200, yaitu ketajaman penglihatan
yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki yang umumnya dapat dilihat
oleh orang yang tidak memiliki ketajaman penglihatan normal pada jarak 200
kaki. Orang yang tidak memiliki ketajaman penglihatan sama sekali atau yang
visus matanya 0 disebut buta.
Definisi
kebutaan bergantung pada maksud definisi itu sendiri dibuat. Sebagaimana Kirk
(Abdurrahman, 1996 :21) mengatakan bahwa “untuk maksud pendidikan, seseorang
yang buta ialah seseorang yang penglihatannya tidak sempurna, cacat atau rusak
sehingga ia tidak dapat dididik dengan metode-metode yang menggunakan
penglihatan”. Sementara itu, White
Confrence (Widdjajantin,
1995:4) mengatakan bahwa:
1. Seseorang dikatakan buta total (blind) maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga
tidak memungkinkan baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kaca mata
2. Sesesorang dikatakan buta untuk pendidikan
bila mempunyai ketajaman penglihatan
20/200 feet atau kurang pada bagian mata terbaik setelah mendapat perbaikan
yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi
mempunyai keterbatasan lapang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya
membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.
Sedangkan Sunaryo ( Yusuf, 1996: 52) mengatakan bahwa tunanetra;
Individu yang indera penglihatannya
(kedua-keduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan
penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut: (1) ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas, (2) terjadi
kerusakan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, (3) posisi mata sulit
dikendalikan oleh syaraf otak, (4) terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang
berhubungan dengan penglihatan.
Dari pengertian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra adalah anak yang buta total dan kurang
penglihatan. Dengan kata lain anak tunanetra adalah seseorang yang sulit
mengikuti pendidikan anak awas sehingga ia tidak dapat dididik dengan metode-metode yang menggunakan penglihatan dan membutuhkan pelayanan secara khusus.
C.
Klasifikasi Anak Tunanetra
Pengelompokkan tunanetra tergantung
sudut pandang ilmu. Klasifikasi ilmu kesehatan bebeda dengan kependidikan.
Sebagaimana WHO (Widdjajantin, 1995 :21) mengelompokkan tunanetra dalam dua
kelompok besar yaitu:
a. Blind atau buta, menggambarkan suatu kondisi
yang fungsi penglihatannya tidak dapat digunakan lagi meskipun dengan alat
bantu sehingga tergantung pada fungsi indra-indra yang lain.
b. Low
vision (penglihatan
kurang), menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya
tahan rendah, mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas yang utama yang menuntut
fungsi penglihatan.
Widdjajantin, (1995: 13)
mengklasifikasikan anak tunanetra dari segi tingkat ketajaman penglihatannya
sebagai berikut:
1. 6/6 meter atau 20/20 feet – 20/50 feet,
tingkat ini disebut tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal. Mereka
masih mampu menggunakan peralatan pendidikan pada umumnya, sehingga masih dapat
memperoleh pendidikan di sekolah umum.
2. 6/20 meter – 6/60 meter atau 20/70 feet, tingkat ini disebut tunanetra kurang
lihat atau low vision. Pada taraf ini
disebut tunanetra kurang lihat atau low
vision. Pada taraf ini mereka masih mampu melihat dengan menggunakan
kacamata.
3. 6/60 meter atau 20/200 feet, - 20/50 feet, tingkat ini disebut tunanetra berat, taraf ini masih
mempunyai tingkatan; (a) masih dapat melihat gerakan tangan cahaya; (b) hanya
dapat membedakan terang dan gelap.
4. Mereka memiliki visus o, mereka sering
disebut buta, pada tingkat ini tidak mampu melihat rangsangan cahaya yang
terlihat hanya gelap.
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunanetra mencakup
gangguan penglihatan tingkat ringan 6/6 meter atau 20/20 feet – 20/50 feet, kurang
lihat 6/20 meter – 6/60 meter atau 20/70 feet,
tunanetra berat 6/60 meter atau 20/200 fee, 20/50 feet dan mereka memiliki visus 0, mereka sering disebut buta, pada
tingkat ini tidak mampu melihat rangsangan cahaya yang terlihat hanya
gelap.
D. Faktor Penyebab Tunanetra
Kecacatan dapat ditinjau dari
sudut waktu terjadinya (ketika anak/bayi) sebelum dilahirkan atau masa prenatal, saat anak dilahirkan atau masa
natal. Ketika anak telah lahir atau masa post
natal. Kecacatan juga dapat ditinjau dari sudut intern (penyebab yang
datang dari dalam diri dan penyebab yang datang dari luar diri (ekstern).
Menurut Widdjajantin (1995: 16)
bahwa penyebab ketunanetraan ditinjau dari sudut interen dan ekstern. Secara
terinci tentang penyebab kebutaan pada anak dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor Intern
Kebutaan dari faktor intern dapat
disebabkan oleh perkawinan antar keluarga dan perkawinan antar tunanetra.
b. Faktor ekstern
Kebutaan dari faktor eksteren dapat
disebabkan oleh penyakit sifilis/raja singa/rubella, malnutrisi berat,
kekurangan vitamin A, diabetes militus, tekanan darah tinggi, stroke, radang
kantung air mata, radang kelenjar kelopak mata, hemagioma, retinoblastoma, cellutis orbita, glaucoma, fibroplasi,
retrilensa, efek obat/zat kimiawi.
d. Karakteristik Anak Tunanetra
Karakteristik anak tunanetra
merupakan ciri khas bagi semua anak tunanetra dalam melakukan aktivitas yang
merupakan akibat langsung dari kelainan yang disandangnya. Widdjajantin (1995:
29) mengelompokkan karakteristik anak tunanetra sebagai berikut: karakteristik
perkembangan bahasa, kemampuan intelektual, perkembangan fisik, serta sosial
dan emosional.
a. Perkembangan bahasa; dikarenakan kurangnya
stimuli visual, maka perkembangan bahasa anak tunanetra diperoleh melalui kata-kata
verbalistik dari orang lain. Komunikasi verbal pada anak tunanetra juga
merupakan hal yang kurang dipahaminya karena kemampuan itu sangat bergantung
pada stimuli visual dari lingkungan. Kosa kata anak tunanetra cenderung
bersifat definitif sedangkan anak awas cenderung lebih luas.
b. Kemampuan inteletual; anak tunanetra
mengolah dan menganalisa informasi dari lingkungan sama dengan anak awas, yang
berbeda adalah hambatannya dalam menerima informasi. Kebutaan tidak secara
otomatis hasil dari inteligensi rendah, IQ mereka tidaklah lebih kurang sama dengan
inteligensinya dari anak awas. Kemampuan konseptual mereka berbeda dengan anak
awas, mereka mengalami kesulitan dalam menangkap konsep keruangan, dan indera
taktual lebih penting bagi perkembangan anak tunanetra mengenal konsep ruang.
c. Prestasi akademik; anak tunanetra sering
mengalami sebagian underachiever. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya; anak tunanetra selalu
memasuki sekolah dalam usia lebih lambat dari pada anak awas, anak tunanetra
sering dididik dengan program yang tidak sesuai, beberapa anak tunanetra
mempunyai kesempatan masuk sekolah dan mereka harus menggunakan braille atau buku yang berhuruf besar
yang memperlambat kemampuannya untuk mengumpulkan informasi serta merupakan
akibat tidak langsung dari kelainan penglihatannya.
d. Sosial dan emosional; anak tunanetra
kurang mampu menyesuaikan diri dengan baik ketimbang anak awas. Kehadiran
mereka yang buta total lebih diterima daripada mereka yang kurang lihat.
Problem sosial dan emosi mereka cenderung disebabkan oleh sikap orang awas
serta kurangnya kontak antara mereka dan anak awas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa murid tunanetra memiliki
karakteristik yang berbeda dari anak normal dalam hal; perkembangan bahasa, kemampuan inteletual, prestasi
akademik, sosial dan emosional. Bahwa anak tunanetra mengalami keterlambatan
dalam pemerolehan bahasa atau miskin dalam perbendaharaan bahasa, sehingga
kemampuan intelektualnya mengalami hambatan, maka sebagai konsekuensinnya
prestasi akademik, penyesuasian sosial dan perkembangan emosional berbeda dari
anak normal.
Selanjutnya
Widdjajantin dan Hitipeuw (1995:11) mengemukakan karakteristik tunanetra
total/buta yaitu;
1) Rasa curiga pada orang lain. Keterbatasan rangsangan penglihatan
menyebabkan anak tunanetra kurang mampu berorientasi dan mobilitas dengan
lingkungannya. Anak tunanetra sering bertabrakan dengan orang lain, kakinya
terperosok dalam lubang dan pengalaman-pengalaman yang menimbulkan rasa sakit,
kecewa dan rasa tidak senang, perasaan-perasaan ini yang mendorong anak
tunanetra untuk selalu berhati-hati dan menunjukkan sikap selalu terhadap orang
lain.
2) Perasaan mudah tersinggung. Perasaan mudah
tersinggung timbul karena kecewa, curiga pada orang lain. Akibatnya anak buta
menjadi emosional, sehingga segala senda gurau, tekanan suara atau singgungan
fisik tidak disengaja dari orang lain
dapat menyinggung perasaannya.
3) Ketergantungan yang berlebihan pada orang
lain. Tunanetra total cenderung mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi karena dua sebab. Sebab
pertama yaitu datang dari dirinya. Tunanetra total tidak mau berusaha sepenuh
hati untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sebab kedua datang dari luar. Rasa kasih sayang
dan perlindungan yang berlebihan dari orang lain. Akibatnya anak
tunanetra selalu bergantung pada orang lain. Blindism, merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan
tunanetra tanpa mereka sadari, misalnya menggeleng-gelengkan
kepala tanpa sebab, menggoyangkan badan dan sebagainya. Semua gerakan ini tidak
terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain pusing bila melihat
gerakan-gerakan tersebut.
4) Perhatian
terpusat. Kebutaan menyebabkan dalam melakukan suatu kegiatan akan terpusat. Perhatian
terpusat ini sangat mendukung kepekaan indera masih ada.
Memperhatikan pendapat di
atas, bahwa anak buta total mengalami karakteristik yang khas seperti rasa
curiga secara berlebihan pada orang lain, perasaan mudah tersinggung,
ketergantungan yang berlebihan, blindism, perhatian terpusat, rasa rendah diri.
Di samping itu, anak tunanetra juga mengalami karakteristik lain seperti ; suka
melamun, fantasi yang kuat untuk mengingat suatu obyek, kritis, pemberani.
Widdjajantin
dan Hitipeuw (1995: 17) mengemukakan karakteristik tunanetra kurang lihat (low vision) yaitu;
1. Selalu mencoba mengadakan fixition atau melihat suatu benda dengan
memfokuskan pada titik-titik benda
2. Menaggapai rangsangan cahaya yang datang
padanya terutamna pada benda yang kena sinar disebut visually function
3. Bergerak dengan penuh percaya diri baik di
rumah maupun di sekolah
4. Merespon warna, selalu memberi komentar
pada warna benda yang dilihatnya
5. Mereka dapat menghindari rintangan yang
berbentuk besar dengan sisa penglihatan
6. Memiringkan kepala bila memulai suatu
pekerjaan
7. Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa
penglihatan
8. Tertarik pada benda yang bergerak
9. Mencari benda jatuh selalu menggunakan
penglihatan
10. Menjadi penuntun bagi temannya yang buta
11. Jika berjalan sering membentur atau
mengijak-injak benda
12. Berjalan dengan menyeretkan atau
menggeserkan kaki atau salah langkah
13. Kesulitan dalam menunjuk atau mencari benda
kecuali warnanya kontrak
14. Kesulitan melakukan gerakan yang halus
atau lembut
15. Selalu melihat benda dengan global atau
menyeluruh
16. Kordinasi atau kerjasama antara mata dan
anggota badan yang lemah
Dari penyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra kurang lihat
selalu mengandalkan sisa penglihatan untuk mengadakan kontak dengan lingkungan
di sekitarnya, padahal sisa penglihatannya tidak bekerja secara maksimal
sehingga sesuatu yang mereka kerjakan/lakukan kurang optimal.
2. Konsep Orientasi dan Mobilitas
a. Pengertian Orientasi dan Mobilitas
Hosni (1995:14) mengatakan bahwa ”orientasi merupakan proses penggunaan
indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi dirinya sehubungan dengan
obyek lain dalam lingkungannya”. Lowenfeld memberikan batasan bahwa ”orientasi
adalah suatu proses penggunaan semua indera yang ada untuk menentukan posisi
seseorang terhadap benda-benda penting yang ada di sekitarnya” (Widdjajantin
dan Hitipeuw, 1995: 270).
Dari batasan di atas dapat disimpulkan bahwa orientasi adalah penggunaan
indera pendengaran, indera penciuman, indera perasa, indera penciuman untuk
menangkap informasi dari lingkungan yang dapat digunakan untuk mengetahui
posisi dirinya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang ada
disekitarnya.
Mobilitas bisa disebut juga gerakan. Poerwadarminta (1985:217) “gerak berarti
peralihan tempat atau kedudukan baik hanya sekali maupun berkali-kali,
sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak”. Lydon (Widdjajantin
dan Hitipiuw,1995:270) mengatakan “mobilitas adalah kemampuan bergerak dari
suatu tempat ke tempat lain yang diinginkan dengan tepat, cepat dan aman”.
Hosni (1995:14) mengemukakan ”mobilitas adalah bagaimana ia dapat melakukan
gerakan dan perpindahan tempat dari posisi semula ke posisi obyek yang dikehendaki
dengan tepat, aman dan selamat”.
Mobilitas merupakan psysical locomotion yakni gerakan
organisme dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan mekanisme
organismenya. Carrolt (Hosni, 1996 :13) mengatakan ”for mobility than walking. Mobilitas
bukan hanya sekedar berjalan tetapi lebih dari sekedar berjalan” mobilitas
tidak mesti berpindah tempat (locomotor
movement) tetapi biasa hanya gerakan berpindah posisi (non-locomotor movement).
Orientasi dan mobilitas
merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Orientasi tidak akan berhasil tanpa
adanya mobilitas, sebaliknya mobilitas tanpa didasari orientasi tidak akan
berhasil. Orientasi berhubungan dengan mental sedang mobilitas berhubungan
dengan fisik. Sebagaimana Lowenfeld (Natawidjaya,1996:112) mengemukakan:
Orientasi dan mobilitas memiliki dua komponen yaitu lokomosi
dan orientasi mental. Lokomosi adalah gerak individu dari suatu tempat ke tempat
lain dengan memanfaatkan mekanisme organisme, sedangkan orientasi mental adalah
kemampuan individu dalam mengenal keadaan lingkungan sekitar hubungan dengan
keadaan dirinya sendiri. Kedua komponen ini selalu berkoordinasi dalam proses
berpindah tempat.
Dari beberapa batasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan orientasi dan mobilitas adalah
kesanggupan menggunakan indera yang masih berfungsi untuk mudahnya bergerak
dari suatu posisi ke posisi lain yang dikehendaki dengan tepat, cepat dan
selamat.
b. Fungsi Orientasi dan Mobilitas
Layanan orientasi dan
mobilitas kepada murid tunanetra tidak terlepas dari usaha untuk mengatasi
keterbatasan dalam melakukan bergerak dan perpindahan tempat. Hosni (1996 :59)
mengatakan tujuan akhir layanan orientasi dan mobilitas adalah agar anak
tunanetra mampu:
1) Bergerak dan berpergian dengan selamat.
Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra dapat mengatasi
rintangan atau bahaya dalam bergerak dan berpergian.
2) Bergerak dan berpergian secara mandiri.
Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra tidak tergantung
pada orang lain dalam melakukan gerakan dan berpindah tempat.
3) Bergerak dan berpergian secara efektif.
Layanan orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra mampu menggunakan
waktu terpendek serta sedikit dalam bergerak dan berpindahan tempat.
4) Begerak dan bepergian secara baik. Layanan
orientasi dan mobilitas berfungsi agar anak tunanetra dapat bergerak dan
berpergian memiliki unsur keindahan, dalam arti postur tubuhnya kelihatan
luwes, tidak kaku, badan tegap, tidak bungkuk, dan langkahnya tidak seret.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi orientasi dan mobilitas adalah
agar tunanetra baik total maupun low
vision mampu mengenal, menguasi
medan dan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun lingkungan yang
berlum dikenal dengan aman, efisien, baik dan lentur tanpa banyak meminta
bantuan orang lain, Dengan kata lain
fungsi orientasi dan mobilitas adalah supaya anak tunanatra mampu bergerak,
berpindah dan berjalan sendiri secara mandiri.
c. Keterampilan
Orientasi dan Mobilitas
Hilangnya fungsi indera
penglihatan menyebabkan anak tunanetra mengalami keterbatasan mengenal
lingkungan sekitarnya. Sebagaimana Lowenfeld (Hosni, 1996 : 20) mengatakan
bahwa:
Ketunanetraan pada seseorang dapat mengakibat tiga bentuk
keterbatasan yaitu (1) keterbatasan lingkungan dan keanekaragaman pengalaman,
(2) keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, (3) keterbatasan dalam
kemampuan berpindah tempat (mobilitas)”
Keterbatasan-keterbatasan
pada tunanetra dapat diminimalir dengan melakukan sejumlah keterampilan
orientasi dan mobilitas kepada anak tunanetra. Keterampilan orientasi dan mobilitas
yang diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa bagian A (SLB-A) sangat
bervariasi. Menurut Hosni (1996:140) bahwa ”keterampilan orientasi dan mobilitas
bagi tunanetra meliputi enam komponen
yaitu: 1) Landmark (ciri medan), 2) Clues (tanda-tanda), 3) Numbering (sistem penomoran, 4) measurement (pengukuran), 5) compass direction (arah mata angin). 6) self familiarization (memfamilerkan
diri).
1.
Keterampilan Orientasi
Hosni
(1996: 181) mengatakan bahwa ”keterampilan orientasi dan mobilitas bagi seorang
tunanetra tidak lepas dari masalah pengembangan 13 konsep dasar”. Secara lebih
rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Konsep ukuran
Konsep ukuran meliputi : besar, kecil,
lebih besar, lebih kecil, panjang, pendek, lebih panjang, lebih pendek, jauh,
dekat, sentimeter, meter, kilometer, inchi, dll
b. Konsep bentuk
Konsep bentuk meliputi : bentuk segi
empat, bentuk segi tiga, bentuk bulat, bentuk oval, bentuk tidak beraturan,
dll.
c. Konsep permukaan (texture) : kasar-halus,
lembut-keras, kering-basah, hangat-dingin, dll
d. Konsep warna meliputi : konsep tentang
nama-nama warna, corak dari warna, mewarnai, warna menyala, warna tidak
mengkilap, warna mengkilap, warna terang, warna gelap, warna primer, warna
sekunder, dll
e. Konsep berat (weight) meliputi: ringan, berat, sedang, kilogram, ons, kwintal,
ton, liter, dll
f. Konsep lokasi meliputi: tempat tidur,
halaman, kamar mandi, jalan, dapur, pasar, terminal, puskesmas, trotoar,dll
g. Konsep kegunaan meliputi : kegunaan dari
suatu benda atau barang
h. Konsep posisi meliputi: posisi atas,
bawah, kiri-kanan, depan-belakng, tengah-pinggir,tenggelam-mengapung,terlentang–tengkurap,
horisontal-vertikal, diagonal-sejajar, utara-selatan-timur-barat,
i. Konsep gerakan meliputi: diam-bergerak,
cepat-lambat, lebih cepat-lebih lambat, dapat bergerak, sedang bergerak,
berlari, berjalan, dll
j. Konsep waktu meliputi : pagi, siang,
malam, sore, subuh, dll
k. Konsep suara meliputi: keras, lembut,
serak-melengking, tinggi-rendah, gemuruh berisik, dll
l. Konsep rasa meliputi: manis-pahit,
asin-tawar, pedas-gurih, kejut-sepet.
m. Konsep bau meliputi: harum-busuk, bau parfum,
bau bensin, bau solar, bau bumbu, dll
Pengajaran
keterampilan orientasi kepada tunanetra lebih pada penanaman, pemahaman dan penguasaan
konsep-konsep yang berkaitan dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam menguasai
konsep-konsep tersebut, anak tunanetra senantiasa mengoptimalkan fungsi
indera-indera yang masih berfungsi.
2. Keterampilan Mobilitas
Hilangnya
indera penglihatan tidak berarti hilang sama sekali mobilitas anak tunanetra. Kemampuan
melakukan mobilitas pada tunanetra dapat memanfaatkan indera-indera yang masih
berfungsi. Oleh karena itu, sangat penting peningkatan pengembangan motorik
anak tunantera. Sebagaimana Hosni (1996: 191) mengatakan bahwa ”pengembangan
keterampilan motorik merupakan bagian yang intergral dari pengembangan
orientasi dan mobilitas”.
Dalam
melatih keterampilan motorik harus meliputi tugas motorik (task motor) dan keterampilan motorik (motorik skill). Tugas motorik adalah gerakan yang harus dilakukan
dalam menyelesaikan suatu aktifitas, sedangkan keterampilan motorik berhubungan
dengan terampilnya melakukan sesuatu aktifitas gerak dalam menyelesaikan suatu
kegiatan. Jadi keterampilan motorik berhubungan dengan kecepatan, ketepatan,
bentuk, dan penyesuaian dari gerak itu sendiri.
Hosni
(1996: 193) mengatakan ”keterampilan motorik meliputi gerakan dasar kepala,
gerakan dasar tangan dan kaki, gerak dasar berguling, gerakan dasar duduk mandiri,
gerakan dasar merangkak mandiri, gerakan berdiri sendiri, gerak berjalan
sendiri, gerakan jongkok mandiri, gerakan koordinasi, gerakan mengeksplorasi
lingkungan.
Pengajaran
keterampilan mobilitas kepada tunanetra lebih pada penerapan atau aplikasi dari sejumlah keterampilan orientasi
yang telah dipelajari. Keterampilan mobilitas seperti bergerak, berpindah
tempat, berjalan mandiri dan aktivitas kemandirian lainnya. Dalam melakukan
aktivitas bergerak, berpindah tempat, berjalan mandiri, anak tunanetra
senantiasa memanfaatkan indera yang masih berfungsi atau koordinasi antara
indera yang masih berfungsi untuk merespon rangsangan dari lingkungan
sekelilingnya.
TRIMAKASI ATAS INFONYA PAK
BalasHapus