Sabtu, 02 Juni 2012

Konsep Tunarungu

1. Pengertian Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan dari segi pendengaran sehingga memerlukan pelayanan khusus. Menurut Dwidjosumarto (Soemantri, 1995:140) bahwa “seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu”. Sedangkan Soemantri (1995:145) mengatakan bahwa “tunarungu adalah sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya”.
Ketunarunguan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang berat, sangat berat. Selanjutnya Moores (Depdikbud, 2003:22) mendefinisikan ketunarunguan yaitu:
       Seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO    atau lebih sehingga ia tidak dapat mengartikan pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB ISO sehingga ia mengalami kersulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar 
Dari pendapat di atas dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan seseorang diukur berdasarkan tingkat kemampuan mendengar. Seseorang dikatakan tunarungu apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70-35 dB ISO. Dengan kata lain bahwa kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat kurang dari 35 dB ISO tidak dikategori tunarungu atau pendengarannya normal.       
Semantara itu, Heward & Orlansky (Depdikbud, 2003:22) memberikan batasan mengenai ketunarunguan sebagai berikut.
Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara tidak dipahami walau dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengaran secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus.  
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipaparkan bahwa seseorang disebut tuli apabila saraf penerima rangsangan bunyi/suara mengalami kerusakan sedemikian rupa sehingga tidak mampu mendengar bunyi/suara walaupun dibantu alat dengar bantu, sedangkan seseorang disebut kurang dengar apabila kurang mampu memahami bunyi sehingga memerlukan penyesuaian khusus.
Selanjuntya Hallahan & Kauffman (Hernawati, 2007:101) mengemukakan bahwa
Orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah seseorang yang biasanya menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid, ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendengarannya.
Batasan di atas dapat diuraikan bahwa seseorang yang tuli adalah mereka yang tidak bisa lagi mendengar suara walaupun telah dibantu dengan alat bantu dengar, sedangkan  orang yang kurang dengar adalah mereka yang masih memiliki kemampuan mendengar bunyi pada frekuensi tertentu dan apabila dibantu dengan alat bantu dengar  kemampuan mendengarnya semakin baik.
Connix (Depdiknas, 2003:22) secara rinci mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah ”anak yang kehilangan seluruh atau sebagian pendengarannya sehingga tidak mampu berkomunikasi secara verbal walaupun dibantu dengan alat bantu mendengar mereka tetap membutuhkan pelayanan khusus”. Sedangkan menurut Notoatmojo (1989: 23) mengemukakan bahwa "anak tunarungu adalah yang sudah tuli total, mereka yang tidak mendengar sama sekali atau mereka yang pendengarannya demikian rusak”.
Senada pula batasan yang dikemukakan Salim (Soemantri;1995:140) bahwa:
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Dari berbagai batasan yang dikemukakan beberapa pakar ketunarunguan maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, berat dan sangat berat yang dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB) yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar masih tetap memerlukan pelayanan khusus.  

2. Klasifikasi Ketunarunguan
Pada umumnya klasifikasi anak tunarungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan kurang dengar. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (Somad dan Hernawati:1996:29)
0 db             : Menunjukan pendengaran yang optimal
0 – 26 db     : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang optimal
27 – 40 db  : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyian yang jauh, membutuhkan  tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)
41–55db  : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang)
56–70 db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu berat)
71 – 90 db :  Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat)
91 db        :  Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan diangap tuli (tergolong tunarungu berat sekali).

Dari pendapat di atas dapat deskripsikan bahwa ketunarunguan diklasifikasikan menjadi tunarungu ringan dengan taraf pendengaran 27–40 dB, tunarungu sedang dengan taraf pendengaran 41-55 dB, tunarungu berat dengan taraf pendengaran 56–90 dB serta tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran 56–90 dB serta tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran lebih dari 91 dB.
Gangguan pada organ pendengaran bisa terjadi pada telinga luar, tengah, maupun telinga bagian dalam. Smith & Neisworth (Hernawati, 2007:110) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan tempat terjadinya kerusakan pendengaran yaitu:
  1. Tunarungu tipe konduktif yaitu hilangnya pendengaran diakibatkan adanya gangguan pada telinga luar dan tengah,sehingga menghambat jalannya suara ke telinga bagian dalam
  2. Tunarungu sensorineural diakibatkan gangguan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran.
  3. Tunarungu campuran merupakan perpaduan antara tipe konduktif dan sensorineural.
 Myklebust (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996: 61) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran dengan menggunakan pendengaran deciBel (dB) sebagai hasil pengukuran dengan alat audiometer standar ISO (International Standart Organization), yaitu: “sangat ringan (27-40 dB), ringan (41-55 dB), sedang (56-70 dB), berat (71-90 dB), sangat berat (91 dB ke atas)”. Selanjutnya Myklebust (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996:61) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan waktu terjadinya kehilangan pendengaran, dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu;
(a) tunarungu bawaan; tunarungu sejak lahir sehingga indera pendengaran, dan (b) tunarungu perolehan; anak lahir dengan pendengaran normal akan tetapi dikemudian hari indera pendengarannya menjadi tidak berfungsi yang disebabkan karena kecelakaan atau suatu penyakit. 
Somad dan Hernawati (1996:26) mengemukakan klasifikasi anak tunarungu  dalam dua kelompok yaitu:
1. Anak yang tuli adalah anak yang mengalami kehilangan proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar.
2.  Anak yang kurang dengar atau anak yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan penggunaan alat bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Klasifikasi anak tunarungu sesuai dengan taraf ketunarunguannya (Somad dan Hernawati, 1996:29) adalah :
1.      0 – 26 dB menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.
2.    27 – 40 dB mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan)
3.  41 – 55 dB mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara, (tunarungu sedang).
4.    56 – 57 dB hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara khusus (tunarungu agak berat).
5.  71 – 90 dB hanya bisa mendengar bunyi sangat dekat, kadang dianggap tuli, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan secara khusus (tunarungu berat).
6.    91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dengan getaran, banyak tergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali).
Dari klasifikasi di atas dapat dipaparkan bahwa ketunarunguan seseorang dapat diukur dengan menggunakan decibell (dB). Seseorang dikategorikan tunarungu apabila taraf ketunarunguannya berkisar antar 27-91dB ke atas. Semakin besar ukuran dB-nya, maka kemampuan mendengarnya semakin berkurang baik. Sebaliknya semakin kecil ukuran dB-nya, maka kemampuan mendengarnya semakin baik.
Kirk & Gallagher (Hernawati, 2007:110) mengelompokkan ketunarunguan berdasarkan waktu terjadi pada masa prabahasa dan pasca bahasa yaitu:
  1. Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
  2. Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi setelah berkembangnya kemampuan bicara dan bahasa secara spontan.
Berdasarkan klasifikasi di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan terjadi sebelum anak memiliki kemampuan berbahasa. Ini berarti ketunarunguan terjadi sejak sebelum lahir hingga masa kanak-kanak, sedangkan ketunarunguan terjadi sesudah anak memiliki kemampuan berbahasa artinya bahwa ketunarunguan terjadi setelah masa kanak-kanak  hingga dewasa.  
Adapun klasifikasi yang bermanfaat bagi pelayanan pemberian pendidikan ialah klasifikasi menurut pengukuran audimetris, hal itu sesuai dengan pendapat Sastrawinata (1997: 13) sebagai berikut :
1.  Tunarungu taraf ringan (15 - 25 dB)
Anak tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar bersama-sama anak- anak pada umumnya dengan menggunakan alat bantu pendengaran, penempatan yang keempat yaitu anak harus disuruh duduk dipaling depan.
2.  Tunarungu taraf sedang (26 - 50 dB)
Anak tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan pendidikan khusus dengan latihan bicara, membaca ujaran/membaca bibir dan latihan mendengar dengan memakai alat bantu pendengaran.
3.   Tunarungu taraf berat (51 - 75 dB)
Anak tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti program pendidikan di sekolah luar biasa dan dengan mengutamakan pelajaran bahasa, bicara dan membaca ujaran, penggunaan alat
tetapi masih bisa dipakai di jalan jalan raya untuk bunyi klakson maupun untuk bunyi yang bernada tinggi.
4. Tunarungu taraf berat sekali (75 dB ke atas)
Anak tunarungu pada taraf ini lebih mengutamakan program pendidikan kejuruan meskipun pelajaran bahasa dan bicara masih dapat diberikan kepadanya. Penggunaan alat bantu pendengaran biasanya tidak memberikan manfaat baginya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua kelompok tunarungu yaitu tuli dan kurang dengar. Tuli adalah kehilangan kemampuan mendengar sehingga indera pendengaran dan alat bicara tidak berfungsi sama sekali, sedangkan kurang dengar adalah indera pendengaran kurang baik begitu pula alat bicaranya, tetapi masih berfungsi baik menggunakan alat bantu maupun terapi bicara.

3. Karakteristik Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu merupakan ciri khas bagi semua anak tunarungu. Kekhasan ciri fisik, psikis, dan sosial  pada anak tunarungu merupakan merupakan akibat langsung dari kelainan yang disandangnya. Menurut Sastrawinata (1997:22) bahwa karakteristik tunarungu sebagai berikut. 
(1) egosentrisme yang melebihi anak normal (2) mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, (3) ketergantungan terhadap orang lain (4) perhatian mereka lebih sukar dialihkan (5) mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah, (6) mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

Depdiknas (2003;23) menguraikan karakteristik kognisi anak tunarungu adalah sebagai berikut.
1. Kemampuan verbal anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar
2.  Performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar
3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada informasi yang bersifat suksesi/berurutan
4.  Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan
5.  Daya jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walau prestasi akhir biasanya lebih rendah.
Sedangkan Nur’aeni (1997:119) mengemukakan beberapa karakteristik anak tunarungu, yakni:
(1)sering tampak bingung atau melamun, (2) sering bersifat acuh tak acuh (3) kadang bersikap agresif (4) perkembangan sosialnya terhambat (5) keseimbangan kurang, (6) kepalanya sering miring (7) sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya (8) jika berbicara sering membuat suara-suara tertentu (9) jika bicara sering menggunakan tangan (10) Jika bicara sering keras, lemah, sangat monoton, tidak tepat, dan kadang-kadang menggunakan suara hidung.
Somad & Hernawati (1996:35) membagi karakteristik anak tunarungu dalam segi: intelegensi, bahasa, bicara dan sosialnya. Secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
1.  Karakteristik dalam segi intelegensi
Pada dasarnya kemampuan anak tunarungu sama dengan anak normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang intelegensinya tinggi, rata-rata, dan rendah. Perkembangan intelegensi anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka intelegensi anak tunarungu tampak rendah dibandingkan dengan anak normal. Jika materi diverbalisasikan, maka anak tunarungu sulit menerimanya.
2.  Karakteristik bahasa dan bicara  
Kemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu berbeda dengan anak normal, hal ini disebabkan perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu sampai masa meraban mengalami hambatan. Setelah masa meraban perkebangan bahasa dan bicara  anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniru yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.
3.  Karakteristik Emosi dan sosial.
Ketunarunguan dapat mengakibatkan anak tunarungu terasing dari pergaulan sehari-hari. Keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak tunarungu menuju kedewasaan. Akibat dari keterasingan tersebut menimbulkan efek negatif seperti; egosentris, takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan pada orang lain, perhatian sukar dialaihkan, cepat tersinggung.
Dari beberapa karakteristik anak tunarungu yang diuaraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlambatan/hambatan dalam hal intelegensi, perkembangan bahasa, komunikasi verbal, sosial, emosi. bicara, sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, kurang/tidak tanggap bila diajak bicara, ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton, sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar. Namun memiliki persamaan dalam performance IQ dan daya ingat jangka panjang.   
 
  d. Penyebab Ketunarunguan
Brown seperti dikutip oleh Heward & Orlansky (Abdurrachman dan Sudjadi,1996: 71) mengatakan bahwa penyebab ketunarunguan adalah:
  1. Materna Rubella (campak) pada waktu ibu mengandung mudah terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak;
  2. Faktor keturunan yang tampak dari adanya beberapa anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran.
  3. Ada komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran prematur, berat badan kurang, bayi lahir biru dan sebagainya.
  4. Meningitis (radang otak) sehingga ada semacam bakteri yang dapat merusak sensitivitas alat dengar dibagian dalam telinga.
  5. Kecelakaan/trauma atau penyakit.
Berdasarkan paparan di atas dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan disebabkan oleh faktor keturunan, faktor penyakit dan faktor kecelakaan. Ini berarti keluarga yang mempunyai riwayat ketunarunguan, kemungkinan mempunyai anak yang mengalami kelainan ketunarunguan. Sedangkan ketunarunguan yang disebabkan penyakit maupun kecelakaan kemungkin tidak diturunkan kepada anak. Menurut Boothroyd (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996: 72) membedakan atas beberapa penyebab ketunarunguan, yaitu:
  1. Karena keturunan, ada factor-faktor yang dibawah oleh orang tua.
  2. Karena penyakit, yaitu ibu pada waktu mengandung mudah menderita suatu penyakit seperti rubella
  3. Karena obat-obatan, kadang-kadang ibu yang sakit banyak meminum obat sehingga dapat berpenagaruh pada perkembangan alat dengar anak yang masih dalam kandungan, dan juga pada anak yang terlalu banyak minum obat atau salah ukurannya dapat mengganggu alat denagranya.
  4. Karena kondisi traumatis seperti kurang gizi, radiasi, kekurangan oksigen, pada saat kelahiran premature, atau karena mendengar ledakan yang terlalu kuat dan kebisingan.
 Abdurrachman dan Sudjadi (1996: 71) bahwa menurut waktu terjadinya ketunarunguan adalah :
1.    Ketunarunguan terjadi sebelum lahir (prenatal)
Kondisi ibu yang terkena infeksi atau keracunan pada saat mengandung, sakit influenza, atau campak dapat menyebabkan kerusakan pendengaran anak terutama pada tiga bulan pertama usia kandungan serta karena ketidakcocokan darah anak dan darah ibu
2.    Ketunarunguan yang terjadi ketika lahir (natal)
Pada saat lahir terjadi kecacatan pada bagian luar telinga, gendang suara pada bagian tengah dan perekambangan mekanisme saraf yang terhambat, penngunaan alat yang menyebabkan pendarahan di otak, sehingga merusak sistim saraf , anoxia.
3.    Ketunarunguan yang terjadi sesudah lahir (post natal)
Karena penyakit atau kecelakaan, apabila terjadinya pada tahuan-tahuan awal kelahiran.  Meningitis, infeksi, penyakit gondok, dipteri, dan sebagainya.
Trybus (Somad dan Hernawati, 1996: 32 - 34) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika yaitu :
1) Keturunan.
2) Campak Jerman
3) Komplikasi selama kehamilan dan kelaluran
4) Radang selaput otak (meningitis)
5) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6) Penyakit anak-anak, radang dan luka

Somad dan Hemawati (1996: 33) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut ;
1) Faktor dalam diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari dalam diri anak adalah
a. Keturunan
b. Ibu hamil menderita campak jerman (rubella)
c. Ibu hamil menderita keracunan darah (toxophpesmosis)
2) Faktor luar diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari luar diri anak adalah:
a. Infeksi saat kelahiran
b. Meningitis atau radang selaput otak
c. Otitis media (radang telinga bagian tengah) menimbulkan nanah dan nanah tersebut menggumpal dan mengganggu hantaran bunyi
d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguaan disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak maupun disebabkan oleh faktor dari luar atau lingkungan anak yang waktu terjadinya pada saat sebelum lahir, saat lahir dan setelah lahir. Berbagai faktor penyebab ketunarungun disebabkan karena penyakit atau karena kecelakaan.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. mas anggit, boleh saya minta daftar pustakanya? mau saya pakai untuk melengkapi data. terimakasih

    BalasHapus
  3. mas anggit, boleh saya minta daftar pustakanya? mau saya pakai untuk melengkapi data juga. terimakasih

    BalasHapus